Saturday 7 January 2012

Haruskah sekolah berbiaya mahal?


Selama ini saya berpikir wajar saja sekolah itu mahal agar kualitas sekolah itu bagus, tetapi saya menemukan artikel yang berbicara bahwa kemahalan itu  tidak selalu menghasilkan kualitas yang bagus. Sehingga saya berharap pendidikan itu bisa dinikmati oleh semua lapisan golongan yang pada akhirnya bisa di tinjau ulang biaya sekolah. Untuk lebih jelasnya saya copy pastekan artikel itu. Inilah isi artikelnya
Oleh Muhaimin Iqbal   
Kamis, 05 January 2012 07:17
Kemarin (04/01/12) saya ikut memberi sambutan pada sebuah workshop yang luar biasa,workshop selama dua hari tersebut diberi nama Pesantren Guru – diikuti oleh lebih dari 100 orang guru-guru sekolah Islam utamanya dari wilayah Jabodetabek, tetapi ada juga yang dari luar negeri. Penyelenggaranya adalah Yayasan Al-Fatih Pilar Peradaban, dengan dukungan beberapa institusi dan BUMN. Dari diskusi saya dengan penyelenggara dan juga pembicara lain, saya dapat melihat akan segera lahirnya peluang baru di bidang pendidikan ini.

Peluang ini bukan untuk mencari keuntungan seperti sekolah-sekolah yang dikelola layaknya bisnis, bukan pula seperti sekolah-sekolah yang mengandalkan operasionalnya dari dana pemerintah atau bantuan institusi-institusi – tetapi sekolah yang sustainable – yang mampu secara berkelanjutan menopang kebutuhan dananya sendiri. Tidak memberatkan siswa untuk mencari untung, tetapi juga tidak mengandalkan bantuan dari luar.

Bagaimana sustainability ini akan dicapai ?, sekolah dikembalikan ke fungsi esensiil-nya yaitu tempat para murid belajar dari para guru. Jadi utamanya ada murid yang perlu belajar, dan ada team guru yang kompeten untuk mengajar. Sekolah-sekolah unggulan sekarang menjadi mahal karena mengutamakan gedung-gedung yang megah yang sebenarnya tidak terkait langsung dengan kwalitas pendidikan.

Bahkan saat ini tidak sedikit sekolah-sekolah Islam yang dipandang sebagai unggulan - yang menjadi sangat mahal karena pihak pengelola membebankan biaya gedung pada siswa-siswanya.

Terkait dengan pendekatan ini, tamu asal Palestina yang  ikut memberi sambutan bareng saya pada Pesantren Guru tersebut diatas bercerita bahwa meskipun Palestina di boikot, di dzolimi dlsb. Palestina memiliki jumlah ilmuwan yang lebih banyak dari negeri tetangganya Mesir, padahal penduduk Palestina hanya 11-an juta – itupun menyebar di berbagai negara, penduduk Palestina hanya sekitar 1/7 dari penduduk mesir yang mencapai 81-an juta orang.

Kok bisa demikian ?, bagaimana caranya ?, Orang-orang Palestina memiliki metoda pendidikan sendiri. Di rumahnya rata-rata orang tua Palestina – terutama  ibunya, mampu memberikan pendidikan yang sangat baik bagi anak-anaknya dengan metode bercerita. Di luar rumah anak-anak dan generasi muda Palestina belajar dari para guru di tenda-tenda, dengan peralatan yang seadanya. Mengutamakan peran guru dan orang tua inilah yang mengunggulkan bangsa Palestina, yang hingga kini tidak bisa dikalahkan oleh berbagai kekuatan dunia yang berusaha ‘memenjarakan’-nya.

Dengan pengetahuannya tentang kondisi muslim Indonesia, lantas tamu dari Palestina ini melontarkan pertanyaan yang patut kita renungkan. Pertanyaan tersebut adalah : “ Mengapa muslim Indonesia yang mencapai mayoritas - lebih dari 80 % penduduk, justru terjajah oleh minoritas – setidaknya tercermin dari penguasaan ekonominya ?”.

Kemungkinan besarnya adalah karena system pendidikannya yang keliru, pendidikan yang disetir oleh para ‘pemodal’ yang rata-rata bukan pendidik, atau para pemberi dana yang mengarahkan pendidikan sesuai visi pemberi dana tersebut – dan bukan visi untuk menghasilkan generasi Islam unggulan.

Lantas bagaimana sekolah baru yang akan lahir antara lain dari Pesantren Guru  tersebut ?. Agar tidak terkendala modal yang akhirnya bisa mempengaruhi visi pendidikan, sekolah-sekolah ini akan dilahirkan di rumah-rumah yang kita sebut rumah belajar. Didalamnya ada team guru yang berkompeten di bidangnya, merekalah yang utama dalam pendidikan – bukan modal dana atau bangunan fisiknya.

Karena tidak harus membangun gedung dlsb, maka biaya sekolah akan menjadi murah. Karena rumah belajar-rumah belajar ini bisa menyebar di mana saja, cukup di mana ada guru yang kompeten dan ada murid yang mau belajar, maka seorang murid bisa belajar di tempat yang paling dekat di lingkungannya.

Selain sisi biaya akan rendah, ada efek lain yang luar biasa – yaitu antara lain waktu anak menjadi efektif untuk belajar, tidak harus menempuh perjalanan jauh dlsb – tidak seperti yang sekarang di mana lokasi sekolah-sekolah menjadi pusat-pusat kemacetan di Jabodetabek.

Dengan biaya rendah dan terbebas dari ketergantungan pada modal pula, ide-ide pendidikan yang kreatif bisa secara leluasa dimunculkan. Salah satunya ya yang digagas oleh penyelenggara seminar tersebut – Yayasan Al-Fatih Pilar Peradaban. Yang akan segera dibuat oleh Al-Fatih dalam satu dua bulan kedepan adalah sekolah model, yang mengikuti bagaimana generasi unggulan umat ini dahulu dididik.

Model sekolah-sekolah yang ada sekarang mulai dari kelompok bermain, TK sampai SD adalah mengikuti pola-pola pendidikan yang lahir antara tahun 1,600-an sampai 1,800-an Masehi. Siapa yang melahirkan ?, di era tersebut sudah berlalu era kejayaan pendidikan Islam Andalusia (1492), maka yang melahirkan berbagai model pendidikan yang menjadi rujukan hingga kini adalah model yang dikembangkan para pastur dan orang-orang yang tidak jelas asal usulnya.

Untuk ini team kerja Al-Fatih sudah berhasil melacak dengan sangat rinci bagaimana pendidikan dilakukan di masa-masa kejayaan Islam dahulu, mulai dari generasi para sahabat sampai sekitar delapan abad sesudahnya. Begitu rincinya metode pendidikan ini sampai-sampai dimana seorang guru harus duduk, bagaimana dia bicara dan berpakaian , ilmu apa yang diajarkan dlsb. semuanya terdokumentasikan.

Maka inilah jalan itu, untuk menembalikan generasi Islam yang unggul di masa ini dan masa yang akan datang, tidak ada cara lain kecuali mendidik mereka sebagaimana generasi unggulan umat ini dahulu dididik. Mereka akan dididik di rumah-rumah belajar yang selanjutnya kita sebut Kuttab – ini adalah program pendidikan dari usia 5-12 tahun yang dahulu digunakan di masa generasi unggulan Islam.

Pertanyaan yang sangat umum dari peserta Pesantren Guru maupun dari masyarakat yang ikut antusias menyambut program ini adalah, “lantas bagaimana anak-anak ini nanti disiapkan untuk ikut pendidikan lanjutan , perguruan tinggi dlsb. ?

Insyaallah tidak ada masalah, saat ini saja saya mengenal setidaknya lima sekolah yang sudah berjalan mirip dengan konsep ini. Masing-masing satu di Medan, Semarang, Jakarta, Depok dan Bogor. Karena sekolah ini (awalnya) dari rumah ke rumah, mereka tidak terkenal sebagaiman sekolah unggulan lainnya. Tetapi prestasi siswanya ataupun lulusan-lulusannya tidak kalah dengan sekolah-sekolah besar, bahkan perguruan tinggi di tanah air.

Bahkan saya juga mendengar penuturan dari pengelola sekolah ‘rumahan’ semacam ini di Semarang tentang lulusannya. Suatu saat ada lulusannya yang ingin menguasai teknologi tinggi dengan mendaftar ke perguruan tinggi ternama di Jerman. Ketika calon mahasiswa ini diundang untuk tes, dia berangkat tanpa pembekalan khusus dari guru-guru-nya karena memang tidak tahu materi apa yang akan dites-kan di sana.

Ternyata di sana tesnya hanya melalui wawancara oleh salah seorang professor, dia ditanya begini kurang lebih : “negerimu banyak memiliki hutan, lantas apa yang kamu pikirkan dengan hutanmu itu dan apa yang akan kamu lakukan ?”.

Karena di sekolah yang ‘tidak biasa’ di Semarang tersebut anak dididik untuk berfikir secara terbuka, menghargai dan melestarikan alam dlsb. dengan fasih anak yang masih belia ini bercerita tentang hutan-hutan kita, apa yang terjadi sekarang, apa yang seharusnya dilakukan dlsb. hanya melalui bercerita ini sang professor menjadi tahu kwalitas calon anak didiknya ini dan dia diterima langsung.

Jaman ini adalah jaman teknologi, Wikipedia saja bisa mengumpulkan jutaan ahli dari berbagai bidang untuk share ilmunya secara gratis; mengapa tidak kita padukan seluruh ilmu pengetahuan yang dimiliki umat ini untuk kembali melahirkan generasi umat unggulan untuk masa depan Islam ?. Tidak perlu menunggu kita punya gedung sekolah yang megah, laboratorium yang komplit dlsb., mulai dari rumah-rumah tempat berkumpulnya para guru yang kompeten – cukuplah untuk melahirkannya Kuttab-kuttab baru di lingkungan kita semua. Cukuplah alam dan lingkungan sekitar kita menjadi laboratorium hidup untuk para calon pelaku peradaban masa depan ini.

Setelah dalam satu dua bulan kedepan model yang kita siapkan beroperasi, Anda dapat belajar dan kemudian mencontohnya untuk lingkungan Anda. Bukan hanya sekedar mencontoh standar kurikulum, kompetensi guru dan sejenisnya, Yayasan Al-Fatih Pilar Peradaban insyaAllah juga akan memfasilitasi link and match-nya dengan institusi-institusi pendidikan yang sudah ada. Misalnya untuk mendapatkan ujian nasional yang setara, hubungan dengan perguruan tinggi-perguruan tinggi di dalam dan luar negeri untuk pendidikan lanjutan para murid dlsb.

Untuk Anda para guru, dengan pendekatan ini insyallah Anda akan kembali menjadi pelaku utama dalam pendidikan ini – bukan lagi para pemodal atau donator Anda, bukan pula yayasan tempat Anda bernaung. Bahkan kami juga akan fasilitasi pendidikan social entrepreneurship untuk Anda para guru, sehingga Anda bisa menjalankan proses pendidikan yang sustainable (berkelanjutan) – tanpa mengandalkan donatur atau pemodal dan tidak pula memberatkan para muridnya. Insyaallah.



ingin lebih jelas kunjungi link ini



0 komentar:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More